Senin, 05 April 2010

TUGAS BAHASA INDONESIA (SOFTKILL)

Nama : Raka Fitriayu Perdani
NPM : 10207882
Kelas : 3EA01
Mata Kuliah : Bahasa Indonesia 2 ( softskill )

TUGAS I
Menyusun Sebuah Karangan
Menulis Adalah Proses Bernalar
Konsep dan pengertian tentang sesuatu adalah hasil penalaran berpikir berbasiskan pengamatan inderawi (observasi empirik). Pola pemahaman berdasarkan pengamatan kejadian sejenis membentuk proposisi–proposisi; dan berdasarkan sejumlah proposisi yang diketahui atau dianggap benar, lantas orang menyimpulkan sebuah “teorema baru” yang sebelumnya tidak diketahui. Siklus ini disebut proses menalar. Me(makai)-nalar identik dengan memanfaatkan jejak probabilitas kejadian masa lalu, sebaliknya mencari akal adalah mengundang posibilitas masa depan. Kesuksesan selalu hal baru, tak pernah berulang; dan merupakan produk akal. Sedang pengulangan sukses tetaplah pengulangan, mudah disampaikan sebagai cerita tentang “peng-alam-an”; dan merupakan produk nalar. Dua cerita berikut menunjukkan beda antara bernalar dan berakal.
Nalar dan Akal
Suatu hari, Bernasdus, seorang anak berumur empat tahun, bermain vas bunga porselin yang sangat disakralkan oleh kedua orangtuanya, mengingat benda itu warisan kakek buyut Bernasdus. Kejadian dimulai ketika Bernasdus telanjur memasukkan tangan kanannya ke dalam vas dan tidak dapat menarik kembali keluar dari lubang vas. Ayahnya berusaha keras menolongnya, namun sia-sia karena tangan Bernasdus tetap terpasung di lubang vas. Muncullah konflik dalam diri sang ayah, yakni antara keinginan mempertahankan keutuhan vas yang sangat bernilai itu dan menyelamatkan tangan Bernasdus. Terpikir gagasan untuk memecah vas dengan risiko tangan Bernasdus terluka. “Coba, Nak. Masih ada cara. Buka genggaman tanganmu dan luruskan jari-jarimu seperti ayah contohkan; kemudian tarik…” Di luar dugaan Bernasdus menjawab, “Tidak, Yah, aku tak mau melakukannya. Aku tak akan melepas genggaman tanganku seperti ayah contohkan, karena uang recehku akan tertinggal di sana.”
Mana nalar dan mana akal? Mungkin sebagian besar pembaca berpikir bahwa sang ayah lebih mempercayai dan memakai nalar masa lalunya, sebaliknya Bernasdus sedang menggunakan akal masa depannya. Cerita berikut mungkin membuat Anda berubah pikiran. Suatu hari, seratus tahun silam, di sebuah kawasan persawahan Delanggu Jawa Tengah hidup suatu keluarga petani yang memiliki harta kekayaan berupa dua ekor sapi. Yang satu sudah berumur dan sering mengalami “dhèngkèlën”,*) yang lain masih muda, kuat, dan memiliki ketahanan fisik untuk membajak sawah. Sapi yang pertama sudah tak mungkin lagi dipasang-jalankan bersama sapi kedua, apalagi untuk membajak.
Ketika pasangan suami-istri petani sedang menghadiri perhelatan pernikahan salah satu tetangga, di luar kebiasaan sapi tua itu mampu berdiri tegak dan berjalan menuju rumpun rerumputan kalanjana yang tumbuh subur di dekat sumur belakang rumah. Karena jalannya yang gontai, di tengah keasyikan melahap makanannya, sapi tua itu terperosok dan secara pelan namun pasti masuk ke lubang sumur. Dengan segala upaya, sapi itu berusaha bertahan agar tak merangsak ke kedalaman sumur. Tiba dari perhelatan, pasangan petani mendengar gaduh lenguhan sapi yang datang dari arah lubang sumur. Setelah memahami apa yang sedang terjadi, petani lelaki itu memutar akal. Timbul perasaan campur-baur antara rasa simpatinya pada sapinya yang naas itu tapi juga rasa jengkelnya bahwa ia harus menguras isi sumur yang tak seharusnya menjadi kubangan sapi, dan rasa sesal karena kelancangan sapinya yang hampir menghabiskan persediaan rumput untuk berjaga menghadapi tibanya musim kemarau.
Berpikir kecepatan kilat, akhirnya lelaki itu memutuskan untuk tak mempedulikan sama sekali baik sapi tua, rumput kalanjana, maupun sumurnya. Ia justru memanggil para tetangganya, menceritakan apa yang tengah terjadi dan meminta mereka beramai-ramai menguruk lubang sumur itu dengan tanah merah untuk mengubur sapi tuanya agar tak berlama-lama dalam penderitaan.
Begitu menerima hujan bongkahan tanah merah yang bertubi menghantam punggung dan kepalanya, sapi itu melenguh panik dan ketakutan. Namun sang petani dan para tetangganya seolah tak mengacuhkannya dan tetap mengayuhkan cangkul, mencungkil, dan melontarkan bongkahan tanah merah yang terkuak ke dalam lubang sumur. Tanpa disadari sang petani dan para tetangga yang kian getol menguruk lubang sumur, sapi tua itu secara refleks mengibaskan gumpalan tanah merah yang menghantam punggungnya. Gilirannya gumpalan demi gumpalan tanah merah itu bergeser dan jatuh ke samping dan bawah kakinya. Secara refleks pula, dan secara berganti-ganti, keempat kakinya menginjak gundukan tanah yang tumpah berjatuhan dari atas punggungnya.
Bak seorang manusia yang mengalami pencerahan, si sapi melakukan rentetan gerak, mulai dari mengibaskan gumpalan tanah merah yang menghantam punggungnya, menginjakkan keempat kakinya secara bergantian di atas gundukan tanah yang kian bertumpuk; sedemikian rupa sehingga ia seolah sedang menaiki tangga dan secara pelan namun pasti keluar dari keterpurukan dan penderitaan selama berada di dalam sumur. Reaksi refleks kepanikannya telah berubah menjadi solusi yang jenial. Gedebum gumpalan tanah merah yang awalnya bisa jadi sumber malapetaka malahan berubah menjadi berkah keselamatan.
Bahasa adalah medium tanpa batas yang membawa segala sesuatu mampu termuat dalam lapangan pemahaman manusia. Oleh karena itu memahami bahasa akan memungkinkan peneliti untuk memahami bentuk-bentuk pemahaman manusia. Bahasa adalah media manusia berpikir secara abstrak yang memungkinkan objek-objek faktual ditransformasikan menjadi simbol-simbol abstrak. Dengan adanya transformasi ini maka manusia dapat berpikir mengenai tentang sebuah objek, meskipun objek itu tidak terinderakan saat proses berpikir itu dilakukan olehnya (Suriasumantri, 1998).
Bahasa dan pikiran memiliki keterkaitan yang saling mempengaruhi (resiprokal). Variabel berupa domain-domain kognitif dapat dipertimbangkan sebagai pendahulu perkembangan struktur bahasa pada awal tahap perkembangan anak. Namun demikian, ada proses tahapan produksi bahasa (production of language) mungkin lepas atau tidak tergantung pada domain kognitif yang lain. Sebagai bukti misalnya, beberapa individu yang memiliki gangguan keterbatasan bahasa memiliki anterior aphasics di dalam otaknya dengan performansi yang optimal. Misalnya adanya temuan hubungan yang signifikan antara kemampuan mengklasifikasikan (classificatory ability) and pemahaman makna kata (word meaning) pada individu yang memiliki gangguan bahasa atau individu yang menderita skizofren.
Wacana yang dilontarkan oleh Whorf dan Sapir cukup menantang peneliti yang hendak mengkaji tema tersebut. Beberapa pandangan yang moderat terhadap konsep tersebut perlu dipertimbangkan daripada pandangan yang menentangnya. Beberapa pertimbangan yang dapat dijadikan pertimbangan antara lain:
1. Determinasi bahasa dapat dimodifikasi dengan asumsi bahwa bahasa memfasilitasi potensi dalam menalar daripada sebagai penentu mutlak penalaran.
2. Proses satu arah tersebut dapat diubah menjadi proses dua arah dengan menambahkan bahwa macam bahasa yang digunakan manusia juga dipengaruhi oleh cara manusia memandang dunia dan juga sebaliknya.
3. Studi komparasi antar bahasa yang berbeda dalam mencerminkan pikiran yang berbeda lebih diarahkan untuk mengidentifikasi keragaman di dalam satu bahasa daripada perbandingan bahasa utama sebuah masyarakat.


TUGAS II
Contoh Paragraf yang memperlihatkan pola pengembangan
1. Generalisasi
Pemerintah telah menjadikan Pulau Komodo sebagai habitat pelestarian komodo. Di Ujung Kulon, pemerintah mebuat cagar alam untuk pelestarian badak bercula satu. Selain itu, sejumlah Undang-Undang dibuat untuk melindungi hewan langka dari incaran pemburu. Banyak cara yang telah dilakukan pemerintah untuk melestarikan hewan-hewan langka.
Pada contoh paragraf diatas, merupakan paragraf yang mempunyai pola pengembangan generalisasi . Generalisasi itu selanjutnya dijelaskan dengan contoh yang dikemukakan dalam kalimat-kalimat berikutnva. Pernyataan yang merupakan generalisasi biasanya menggunakan ungkapan-ungkapan: biasanya, pada umumnva, sebagian besar, semua, setiap, tidak pernah, selalu, secara kescluruhan, pada galibnya, dan sebagainya.
Selanjutnya dalam kalimat yang merupakan penunjang generalisasi biasa-nya digunakan ungkapan-ungkapan: misalnya, sebagai contoh, sebagai ilustrasi, untuk menjelaskan hal itu, perlu dijelaskan, sebagai bukti, buktinva, menurut data statistik, dan sebagainya.
Perlu diingat selalu bahwa bukti-bukti atau rincian penunjang harus relevan dcngan generalisasi yang dikemukakan. Suatu paragraf yang men-cantumkan penunjang yang tidak relevan dipandang tidak logis.

2. Analogi

Para atlet memiliki latihan fisik yang keras guna membentuk otot-otot yang kuat dan lentur. Demikian juga dengan tentara, mereka memerlukan fisik yang kuat untuk melindungi masyarakat. Keduanya juga membutuhkan mental yang teguh untuk bertanding ataupun melawan musuh-musuh di lapangan. Oleh karena itu, untuk menjadi atlet dan tentara harus memiliki fisik dan mental yang kuat.
Tulisan di atas merupakan contoh analogi deklaratif. Dalam tulisan ini hebatnya penderitaan digambarkan sebagai badai yang menghancur ratakan suatu daerah. Maksudnya tentu saja agar pembaca dapat lebih menghayati bagaimana beratnya penderitaan yang dialami.
3. Hubungan Kausal
Artis terkenal bernama Nafa Urbach mengalami kecelakaan mobil di daerah Yogyakarta. Menurut keterangan polisi, kecelakaan tersebut terjadi karena artis tersebut mengalami depresi akibat putus cinta dengan pacarnya. Akibatnya dia tidak bisa berkonsentrasi mengemudikan mobil yang dikendarainya itu. Mobil tersebut menabrak sebuah pohon hingga mengalami kerusakan berat.
Dari contoh paragraf diatas kita lihat bahwa penyebab pertama kecelakaan artis tersebut adalah “depresi”. Penyebab itu diikuti oleh serangkaian akibat yang masing-masing merupakan penyebab peristiwa lain.Selanjutnya, dalam penalaran akibat ke akibat harus diyakini bahwa ada penyebab umum yang menimbulkan akibat-akibat itu.
Kerap kali terdapat peristiwa-peristiwa sebab akibat yang rumit. Karena itu, seperti telah pernah dikemukakan kita harus berhati-hati dalam menentukannya. Dengan mempelajari proses berpikir yang sah, kita akan dapat menilai, apakah putusan kita tentang suatu sebab-akibat betul-betul merupakan basil proses penalaran yang logis dan tidak dipengaruhi oleh sikap pribadi kepercayaan/takhavul, pandangan politik, atau prasangka. Tulisan yang memaparkan penalaran dari sebab ke akibat dibuka dengan penalaran penyebabnva dahulu. Sebaliknya tulisan yang memaparkan penalaran dari akibat ke sebab dimulai dengan akibatnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar